Manusia pada prinsipnya dilahirkan untuk memiliki sifat mendaki. Pendakian ini maknanya adalah bergerak untuk mencapai tujuan hidup kedepan. Maka Adversity Quotient (AQ) adalah penentu kesuksesan seseorang untuk mencapai puncak pendakian. Secara naluri, dalam proses untuk melakukan pendakian akan dihadapkan pada berbagai hambatan, tantangan dan kesulitan. Semuanya ini tidak cukup diselesaikan dengan hanya bermodalkan kecerdasan intelektual tetapi juga perlu dengan bantuan kecerdasan emosional. Maka AQ memperlihatkan bagaimana seseorang merespon kesulitan serta perubahan-perubahan yang dihadapinya.
Orang yang memiliki AQ tinggi tidak akan pernah takut dalam menghadapi berbagai tantangan dalam proses pendakiannya. Bahkan dia akan mampu untuk mengubah tantangan yang dihadapinya dan menjadikannya sebuah peluang. Untuk memberikan gambaran, Stoltz meminjam terminologi para pendaki gunung. Dalam hal ini, Stoltz membagi para pendaki gunung menjadi tiga bagian:
Quitter (yang menyerah). Para quitter adalah para pekerja yang sekadar untuk bertahan hidup). Mereka ini gampang putus asa dan menyerah di tengah jalan. Quitters. Adalah orang yang langsung berhenti di awal pendakian. Mereka cenderung untuk selalu memilih jalan yang lebih datar dan lebih mudah. Mereka umumnya bekerja sekedar untuk hidup, semangat kerja yang minim, tidak berani mengambil resiko, dan cenderung tidak kreatif. Umumnya tidak memiliki visi yang jelas serta berkomitmen rendah ketika menghadapi tantangan dihadapan. Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan dapat kita kategorikan peserta didik yang hanya menerima pembelajaran ataupun tugas-tugas yang diberikan oleh guru dan mengerjakannya dengan motivasi yang rendah. Dengan kata lain tipe peserta didik ini memiliki kemampuan mengahadapi tekanan terhadap beban belajar yang rendah.
Camper (berkemah di tengah perjalanan) Para camper lebih baik, karena biasanya mereka berani melakukan pekerjaan yang berisiko, tetapi tetap mengambil risiko yang terukur dan aman. Orang-orang ini sekurang-kurangnya sudah merasakan tantangan, dan selangkah lebih maju dari para quitters. Sayangnya banyak potensi diri yang tidak teraktualisasikan, dan yang jelas pendakian itu sebenarnya belum selesai. Campers. Adalah orang yang berhenti dan tinggal di tengah pendakian. Mendaki secukupnya lalu berhenti kemudian mengakhiri pendakiannya. Umumnya setelah mencapai tingkat tertentu dari pendakiannya maka fokusnya berpaling untuk kemudian menikmati kenyamanan dari hasil pendakiannya. Maka banyak kesempatan untuk maju menjadi lepas karena fokus sudah tidak lagi pada pendakian. Sifatnya adalah satisficer, merasa puas diri dengan hasil yang sudah dicapai. Kaitannya dengan dunia pendidikan peserta didik yang tergolong di tipe ini biasanya memiliki kemampuan untuk menerima tekanan dan beban belajar, namun seringkali mereka tidak menyelesaikan tugas dan beban belajarnya dengan baik.
Climber (pendaki yang mencapai puncak). Para climber, yakni mereka, yang dengan segala keberaniannya menghadapi risiko, akan menuntaskan pekerjaannya. Mereka mampu menikmati proses menuju keberhasilan, walau mereka tahu bahwa akan banyak rintangan dan kesulitan yang menghadang. Namun, di balik kesulitan itu ia akan mendapatkan banyak kemudahan.”Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. Climbers. Orang yang berhasil mencapai puncak pendakian. Mereka senantiasa terfokus pada usaha pendakian tanpa menghiraukan apapun keadaan yang dialaminya. Selalu memikirkan berbagai macam kemungkinan dan tidak akan pernah terkendala oleh hambatan yang dihadapinya. Mundur sejenak adalah proses alamiah dari pendakian, dan mereka senantiasa mempertimbangkan dan mengevaluasi hasil pendakiannya untuk kemudian bergerak lagi maju hingga puncak pendakian tercapai. Dalam dunia pendidikan peserta didik di level ini (climbers) adalah peserta didik yang mampu menerima tekanan dan beban belajar, mencari dan mengembangkan, dan menyelesaikan tugas dan beban belajarnya dengan baik tanpa meninggalkan perasaan tertekan atau mampu bertahan terhadap tekanan.
Dalam konteks ini, para climber dianggap memiliki AQ tinggi. Dengan kata lain, AQ membedakan antara para climber, camper, dan quitter
Quitter (yang menyerah). Para quitter adalah para pekerja yang sekadar untuk bertahan hidup). Mereka ini gampang putus asa dan menyerah di tengah jalan. Quitters. Adalah orang yang langsung berhenti di awal pendakian. Mereka cenderung untuk selalu memilih jalan yang lebih datar dan lebih mudah. Mereka umumnya bekerja sekedar untuk hidup, semangat kerja yang minim, tidak berani mengambil resiko, dan cenderung tidak kreatif. Umumnya tidak memiliki visi yang jelas serta berkomitmen rendah ketika menghadapi tantangan dihadapan. Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan dapat kita kategorikan peserta didik yang hanya menerima pembelajaran ataupun tugas-tugas yang diberikan oleh guru dan mengerjakannya dengan motivasi yang rendah. Dengan kata lain tipe peserta didik ini memiliki kemampuan mengahadapi tekanan terhadap beban belajar yang rendah.
Camper (berkemah di tengah perjalanan) Para camper lebih baik, karena biasanya mereka berani melakukan pekerjaan yang berisiko, tetapi tetap mengambil risiko yang terukur dan aman. Orang-orang ini sekurang-kurangnya sudah merasakan tantangan, dan selangkah lebih maju dari para quitters. Sayangnya banyak potensi diri yang tidak teraktualisasikan, dan yang jelas pendakian itu sebenarnya belum selesai. Campers. Adalah orang yang berhenti dan tinggal di tengah pendakian. Mendaki secukupnya lalu berhenti kemudian mengakhiri pendakiannya. Umumnya setelah mencapai tingkat tertentu dari pendakiannya maka fokusnya berpaling untuk kemudian menikmati kenyamanan dari hasil pendakiannya. Maka banyak kesempatan untuk maju menjadi lepas karena fokus sudah tidak lagi pada pendakian. Sifatnya adalah satisficer, merasa puas diri dengan hasil yang sudah dicapai. Kaitannya dengan dunia pendidikan peserta didik yang tergolong di tipe ini biasanya memiliki kemampuan untuk menerima tekanan dan beban belajar, namun seringkali mereka tidak menyelesaikan tugas dan beban belajarnya dengan baik.
Climber (pendaki yang mencapai puncak). Para climber, yakni mereka, yang dengan segala keberaniannya menghadapi risiko, akan menuntaskan pekerjaannya. Mereka mampu menikmati proses menuju keberhasilan, walau mereka tahu bahwa akan banyak rintangan dan kesulitan yang menghadang. Namun, di balik kesulitan itu ia akan mendapatkan banyak kemudahan.”Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. Climbers. Orang yang berhasil mencapai puncak pendakian. Mereka senantiasa terfokus pada usaha pendakian tanpa menghiraukan apapun keadaan yang dialaminya. Selalu memikirkan berbagai macam kemungkinan dan tidak akan pernah terkendala oleh hambatan yang dihadapinya. Mundur sejenak adalah proses alamiah dari pendakian, dan mereka senantiasa mempertimbangkan dan mengevaluasi hasil pendakiannya untuk kemudian bergerak lagi maju hingga puncak pendakian tercapai. Dalam dunia pendidikan peserta didik di level ini (climbers) adalah peserta didik yang mampu menerima tekanan dan beban belajar, mencari dan mengembangkan, dan menyelesaikan tugas dan beban belajarnya dengan baik tanpa meninggalkan perasaan tertekan atau mampu bertahan terhadap tekanan.
Dalam konteks ini, para climber dianggap memiliki AQ tinggi. Dengan kata lain, AQ membedakan antara para climber, camper, dan quitter
- Fisiologi: lapar, haus, tidur
- Keamanan: bertahan hidup, seperti perlindungan dari perang dan keamanan.
- Cinta dan rasa memiliki: kasih saying dan perhatian dari orang lain.
- Harga diri: menghargai diri sendiri.
- Aktualisasi diri: realisasi potensi diri.
Dikaitkan antara AQ dengan piramida motivasi Maslow adalah, untuk quitters berada pada tingkat fisologi saja. Untuk Campers hanya sampai pada tingkat keamanan saja. Sedangkan untuk Climbers sudah mencakup keseluruhan piramida dari fisiologi sampai aktualisasi diri.
Jawaban luar biasa dari pencipta lampu pijar itu menjadi salah satu contoh ekstrem seorang climber (pendaki)–yang dianggap memiliki kecerdasan mengatasi kesulitan (adversity quotient, AQ) tinggi. Terminologi AQ memang tidak sepopuler kecerdasan emosi (emotional quotient) milik Daniel Goleman, kecerdasan finansial (financial quotient) milik Robert T. Kiyosaki, atau kecerdasan eksekusi (execution quotient) karya Stephen R. Covey.
AQ ternyata bukan sekadar anugerah yang bersifat given. AQ ternyata bisa dipelajari. Dengan latihan-latihan tertentu, setiap orang bisa diberi pelatihan untuk meningkatkan level AQ-nya.
Manusia sejati adalah manusia yang jika menempuh perjalanan yang sulit, mereka selalu optimis; sedangkan jika mereka melewati perjalanan yang mudah mereka malah khawatir
Dalam dunia pendidikan, hanya para climbers-lah yang akan mendapatkan kesuksesan dan keberhasilan. Sebuah penelitian yang dilakukan Charles Handy-seorang pengamat ekonomi kenamaan asal Inggris terhadap ratusan orang sukses di Inggris memperlihatkan bahwa mereka memiliki tiga karakter yang sama. Yaitu, pertama, mereka berdedikasi tinggi terhadap apa yang tengah dijalankannya.
Dedikasi itu bisa berupa komitmen, kecintaan atau ambisi untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik. Kedua, mereka memiliki determinasi. Kemauan untuk mencapai tujuan, bekerja keras, berkeyakinan, pantang menyerah dan kemauan untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Dan ketiga, selalu berbeda dengan orang lain. Orang sukses memakai jalan, cara atau sistem bekerja yang berbeda dengan orang lain pada umumnya. Dua dari tiga karakter orang sukses yang diungkapkan Handy dalam The New Alchemist tersebut erat kaitannya dengan kemampuan seseorang dalam menghadapi tantangan
0 Response to "Adversity Quotient (AQ) dalam Bidang Pendidikan"