kita yakin setiap orang tua mendambakan anak-anak yang sholeh dan soleha. Kesolehan yang tidak cuma terhenti pada doa dan harapan semata, tapi ia menjelma jadi sikap dan prilaku nyata di keseharian. Tentu, semua itu butuh proses di rangka melakukan konstruksi dan formulasi yang tidak instan dan tidak cukup sekadar bim salabim atau kun fayakun. Mungkin “entry point” terbaik menuju kesana adalah mengarahkan anak-anak kita yang masih di bawah usia anak (bayi lima tahun) untuk belajar al-Qur’an.
Mengapa harus pembelajaran al-Qur’an terlebih dahulu? Al-Quran sendiri di al-Baqarah 129; Ali Imran 164; al-Qashas 59; al-Jum’ah 2, memberikan jawaban yang cukup memuaskan, bahwa urutan belajar itu dimulai dari:
(1) membaca al-Quran,
(2) mengajarkan ilmu agama atau latihan membersihkan hati (akhlaq).
Semua tokoh besar muslim memiliki backround pendidikan seperti itu, baru kemudian belajar ilmu yang lain.
di masalah ini kita sering terinspirasi oleh pengalaman Syeikh Abdud Da’im al-Kaheel dan Bapak Mutammimul Ula (Mampang, Jakarta Selatan) yang telah sukses mencetak putra-putri mereka jadi anak-anak penghafal. Kedua tokoh tersebut sepakat bahwa kemampuan baca al-Quran yang dimiliki anak akan secara otomatis menempa akhlaq dan intelegensinya, lebih-lebih sampai hafal. Sepuluh putra putri Bpk Mutammimul tersebut disamping hafal al-Quran juga berprestasi di sekolah mereka masing-masing. Syeikh Abd Daim merasa lebih cerdas dan bisa jadi penulis terkenal setelah menghafal al-Quran.
di hal ini kita memiliki beberapa pengalaman menarik. Putri kita yang pertama ‘Nafila Lana’ itu sejak berumur empat tahun sudah dilatih hafalan, tetapi seperti kemampuan anak-anak umumnya, masih kesulitan diajari karena memang masih di berumur bermain. Putra kita yang kedua ‘Kafa Nasrullah’ ternyata juga lebih sulit diajari membaca maupun hafalan al-Quran. Belakangan ini, kita melihat putri dari bapak Muwafik Shalih (dosen Universitas Brawijaya) yang masih kelas I SD, ternyata sudah hampir hafal juz ‘Amma. Salah satu caranya, katanya, kemana saja sang ayah ini pergi, si anak ini juga diajak. Di atas kendaraan inilah sang ayah membaca surat-surat pendek dengan tartil dan keras, sambil menyuruh si anak untuk menirukan. Begitulah kegiatan itu setiap hari dilakukan.
kita mencoba menerapkan cara itu pada anak kita yang kedua. Setiap pagi kita harus mengantarkan mereka sekolah sejauh 7 Km yang memakan waktu 15 menit. Kebetulan kita naik motor, anak kita pertama kita bonceng di belakang dan yang kedua ada di depan. Setiap hari kita baca surat pendek mulai al-Fatihah, an-Naas s/d at-Takatsur. Untuk anak berumur lima tahun, biasanya sulit diajari menghafal, apalagi menghafal sendiri. Awalnya kita baca utuh, sedikit demi sedikit kita samarkan bunyi kata terakhir tiap ayat. Ternyata, anak tanpa sadar mampu meneruskan potongan ayat tersebut. Potongan itu semakin hari semakin sering, pada akhirnya anak kita hafal surat-surat pendek tersebut.
Keuntungan model ini, di atas kendaraan tentu anak tidak bisa bermain atau berlarian. Mau tidak mau, dia harus diam selama sekian menit tanpa aktifitas. di posisi itulah, kesempatan kita sebagai orang tua melakukan “doktrinasi” hafalan al-Quran. Anak juga dilatih istiqamah membaca yang dihafal secara urut setiap hari. Artinya, kita ingin mempersepsikan pada anak bahwa hafalan itu untuk dibaca setiap hari, bukan untuk mengejar “prestasi di lomba” atau untuk didiamkan. Sehingga, anak pada akhirnya juga hafal urutan surat dari belakang ke depan atau sebaliknya.
Namanya anak anak, wajar bila suatu ketika dia merasa bosan, ngambek, mogok tidak mau baca. Lakukan variasi metode, misalnya melagukan bacaan yang sama dengan lagu tartil yang berbeda. Atau cuma melancarkan hafalan surat yang terakhir saja. Bisa juga orang tua memberikan iming-iming reward yang disukai anak. Intinya jangan sampai terhenti sekalipun membimbing menghafal di atas kendaraan. Masalahnya, orang tua sudah hafal juz ‘Amma belum? Kalau belum, mulailah dari sekarang orang tua menghafalkan. cara ini jadi alternatif bagi anak-anak yang “sangat” sulit diajari hafalan. Bagi mereka yang mudah diajari, mungkin cara cuma pendukung saja. Selamat mencoba semoga sukses.
Mengapa harus pembelajaran al-Qur’an terlebih dahulu? Al-Quran sendiri di al-Baqarah 129; Ali Imran 164; al-Qashas 59; al-Jum’ah 2, memberikan jawaban yang cukup memuaskan, bahwa urutan belajar itu dimulai dari:
(1) membaca al-Quran,
(2) mengajarkan ilmu agama atau latihan membersihkan hati (akhlaq).
Semua tokoh besar muslim memiliki backround pendidikan seperti itu, baru kemudian belajar ilmu yang lain.
di masalah ini kita sering terinspirasi oleh pengalaman Syeikh Abdud Da’im al-Kaheel dan Bapak Mutammimul Ula (Mampang, Jakarta Selatan) yang telah sukses mencetak putra-putri mereka jadi anak-anak penghafal. Kedua tokoh tersebut sepakat bahwa kemampuan baca al-Quran yang dimiliki anak akan secara otomatis menempa akhlaq dan intelegensinya, lebih-lebih sampai hafal. Sepuluh putra putri Bpk Mutammimul tersebut disamping hafal al-Quran juga berprestasi di sekolah mereka masing-masing. Syeikh Abd Daim merasa lebih cerdas dan bisa jadi penulis terkenal setelah menghafal al-Quran.
di hal ini kita memiliki beberapa pengalaman menarik. Putri kita yang pertama ‘Nafila Lana’ itu sejak berumur empat tahun sudah dilatih hafalan, tetapi seperti kemampuan anak-anak umumnya, masih kesulitan diajari karena memang masih di berumur bermain. Putra kita yang kedua ‘Kafa Nasrullah’ ternyata juga lebih sulit diajari membaca maupun hafalan al-Quran. Belakangan ini, kita melihat putri dari bapak Muwafik Shalih (dosen Universitas Brawijaya) yang masih kelas I SD, ternyata sudah hampir hafal juz ‘Amma. Salah satu caranya, katanya, kemana saja sang ayah ini pergi, si anak ini juga diajak. Di atas kendaraan inilah sang ayah membaca surat-surat pendek dengan tartil dan keras, sambil menyuruh si anak untuk menirukan. Begitulah kegiatan itu setiap hari dilakukan.
kita mencoba menerapkan cara itu pada anak kita yang kedua. Setiap pagi kita harus mengantarkan mereka sekolah sejauh 7 Km yang memakan waktu 15 menit. Kebetulan kita naik motor, anak kita pertama kita bonceng di belakang dan yang kedua ada di depan. Setiap hari kita baca surat pendek mulai al-Fatihah, an-Naas s/d at-Takatsur. Untuk anak berumur lima tahun, biasanya sulit diajari menghafal, apalagi menghafal sendiri. Awalnya kita baca utuh, sedikit demi sedikit kita samarkan bunyi kata terakhir tiap ayat. Ternyata, anak tanpa sadar mampu meneruskan potongan ayat tersebut. Potongan itu semakin hari semakin sering, pada akhirnya anak kita hafal surat-surat pendek tersebut.
Keuntungan model ini, di atas kendaraan tentu anak tidak bisa bermain atau berlarian. Mau tidak mau, dia harus diam selama sekian menit tanpa aktifitas. di posisi itulah, kesempatan kita sebagai orang tua melakukan “doktrinasi” hafalan al-Quran. Anak juga dilatih istiqamah membaca yang dihafal secara urut setiap hari. Artinya, kita ingin mempersepsikan pada anak bahwa hafalan itu untuk dibaca setiap hari, bukan untuk mengejar “prestasi di lomba” atau untuk didiamkan. Sehingga, anak pada akhirnya juga hafal urutan surat dari belakang ke depan atau sebaliknya.
Namanya anak anak, wajar bila suatu ketika dia merasa bosan, ngambek, mogok tidak mau baca. Lakukan variasi metode, misalnya melagukan bacaan yang sama dengan lagu tartil yang berbeda. Atau cuma melancarkan hafalan surat yang terakhir saja. Bisa juga orang tua memberikan iming-iming reward yang disukai anak. Intinya jangan sampai terhenti sekalipun membimbing menghafal di atas kendaraan. Masalahnya, orang tua sudah hafal juz ‘Amma belum? Kalau belum, mulailah dari sekarang orang tua menghafalkan. cara ini jadi alternatif bagi anak-anak yang “sangat” sulit diajari hafalan. Bagi mereka yang mudah diajari, mungkin cara cuma pendukung saja. Selamat mencoba semoga sukses.
0 Response to "Cara Membuat Anak menjadi Hafis Al-Quran"